Menulis untuk kesehatan Jiwa-Dulu saat kecil, saya punya sebuah keinginan, yaitu pindah sekolah. Saya merasa di sekolah tersebut teman-teman terlalu dominan, sehingga saya merasa tertekan. Sudah saya sampaikan pada orang tua (ibu) namun saya juga tidak paham apa alasannya tidak juga memindahkan saya ke sekolah lain. Hiks #perasaanyangdiabaikan (((duluuuu))). Sekarang alhamdulillah semua keadaan sudah baik.
Menulis Sejak Kecil
Kemudian entah dapat ilham dari mana, saya memilih menulis pada secarik kertas mengenai perasaan dan keberatan saya bersekolah di sana. Berulang kali saya tulis, kadang saya sengaja taruh di atas kasur. Jadi kalau ibu saya ganti sprei harusnya kertas tersebut terlihat dan mengetahui perasaan saya serta mau mempertimbangkan keinginan saya tersebut.
Ternyata hingga lulus SD saya nggak juga pindah sekolah. Perasaan yang saya pendam tersebut seperti menarik hal yang sama saat SMP, SMA, dan kuliah. Makanya teman dekat saya tiap jenjang pendidikan tersebut paling hanya 1 atau 2. Haha…
Kemudian seiring perjalanan hidup yang saya alami, membawa saya kembali pada apa yang dulu saya lakukan, yaitu menulis. Sebetulnya sudah dari SMA ingin punya blog, namun baru terelisasi sekitar 3 atau 4 tahun lalu. Di masa ini saya kemudian banyak menemukan manfaat dari kegiatan menulis.
Setidaknya saya tidak perlu mempedulikan bagaimana tanggapan orang mengenai apa yang saya rasakan. Saya tidak perlu repot-repot menelepon teman untuk menerima perasaan saya. Ini membuat hati lebih lega. Kemudian saya bergabung dengan beberapa komunitas kepenulisan dan rerata mereka mengalami hal yang sama. Sama di sini adalah masalah-masalah hidup yang membebani pikiran mereka sedikit banyak ter-release melalui tulisan. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dibukuan dalam sebuah antologi “The Power of Writing”.
Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis,
(QS. Al Qalam : 1)
Melihat manfaat menulis sedemikian hebatnya kemudian makin menambah rasa penasaran saya. Bagaimana bisa menulis menyehatkan Jiwa?
Bagi self-healing menulis adalah aktivitas mengalirkan emosi. Dalam bahasa Inggris emosi berarti emotion. E sebagai (energy) dan M sebagai motion (bergerak), maka emotion atau emosi adalah energi yang bergerak.
Hal ini sesuai dengan prinsip kekelan energi dalam ilmu Fisika. Hakikatnya energi tak dapat diciptakan dan dimusnahkan, namun ia dapat berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lainnya.
Perbedaan Otak Pria dan Wanita
Menurut penelitian, dalam sehari wanita dapat mengeluarkan hingga 20. 000 kata, sementara pria hanya 7000 kata. Hal ini sejalan dengan penelitian Dr. Tonmoy Sharma tahun 1999, seperti yang dikutip pada buku Allan dan Barbara Pease, pada hasil scan MRI tampak perbedaan otak pria dan wanita.
Ketika pria berbicara seluruh otak kiri aktif namun tak ditemukan di mana pusat bicaranya. Berbeda dengan wanita, ketika ia berbicara bagian otak kiri dan sedikit kanan depan aktif, dan bagian otak lainnya tetap bekerja. Itu sebabnya wanita dapat terus bicara ketika bekerja.
Berbicara atau berkata-berkata adalah sebuah kebutuhan. Bagaimana bila kebtuhuan tersebut tidak tersalurkan? Tentu ada sebuah emosi yang tertahan. Emosi negatif tak boleh dipendam terlalu lama. Oleh karenanya emosi ini perlu disalurkan. Bagi mereka yang sulit bercerita, maka menulis menjadi salah satu metode katarsis atau penyaluran emosi yang baik.
Hingga kini, banyak penelitian menunjukkan manfaat positif dari kegiatan menulis untuk kesehatan jiwa. Mulai dari meredakan stres, mengurangi kecemasan, membangkitkan mood, memperbaiki kualitas tidur, hingga membuat perasaan lebih lega.
Expressive Writing
Seorang psikolog bernama James Pennebaker mengembangkan suatu metode penulisan yang dinamakan expressive writing atau menulis ekspresif. Dalam metode tersebut, yang menjadi objek penulisannya adalah mengenai perasaan atau pikiran. Bisa berupa pengalaman traumatis maupun memori indah yang membangkitkan rasa bahagia.
Bagaimana Tahapan Memulai Menulis Ekspresif?
Sebagaimana menulis pada umumnya, kita bisa menggunakan media seperti buku, laptop, atau handphone. Begitu pun dengan alat menulisnya boleh dengan pensil, bolpen, spidol, atau lainnya. Tahapan ini sebetulnya hanyalah sebuah panduan untuk memudahkan, sementara teknis pelaksanaannya bisa berbeda tergantung kenyamanan tiap individu.
1. Free Writing
Menulislah dengan bebas, tanpa perlu memusingkan bagaimana pembukaan kalimat yang baik, apakah sudah benar tanda bacanya, apakah sudah sesuai puebi. Ini semua tidak penting pada expressive writing therapy. Tujuan kita menulis adalah untuk mengekspresikan apa yang kita rasakan, menulis untuk kesehatan jiwa. Bukan hanya pengalaman traumatis di masa lalu namun juga boleh menuliskan kekhawatiran akan masa depan.
Misal tidak tahu mulai dari mana, maka katakan saja. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, yang aku tahu rasa ini tidak nyaman, bla bla bla…
2. Menulis setiap Hari
Seperti terapi pada umumnya, untuk dapatkan hasil yang efektif kita perlu melakukan ini setiap hari. Sisihkan 10 sampai 15 menit setiap harinya untuk menuliskan apa yang kita rasakan. Jika menulis dalam sebuah buku, bawalah buku tersebut ke mana saja kita melakukan perjalanan. Kadang kita sulit memulainya namun kalau sudah menulis setengah jam pun terasa kurang.
3. Menulis apa yang diinginkan
Kita boleh menuliskan apa saja yang tengah kita rasakan. Tentang rasa kesal, marah, sedih, kecewa, bahagia, atau rasa syukur. Ya selain expressive writing, penting juga menuliskan jurnal syukur setiap harinya.
Begini Kerangka Expressive Writing Versiku
Kerangka ini merupakan pengembangan dari saya pribadi. Kalau kita ingat pembahasan kemarin mengenai memaafkan, tahapannya adalah 3M. Maka agar manfaat menulis bisa kita rasakan maksimal kita bisa gunakan metode 3M tersebut dalam sebuah tulisan. Tahapannya sama.
Mengakui
Dalam sebuah tulisan, kita boleh menulis apa saja. Akui semua yang kita rasakan. Biasanya setelah kita larut dalam tulisan yang kita buat hati mulai lega. Hati yang lega, membuat otot-otot lebih rileks, saraf pun mengirimkan sinyal atau pesan ke otak apa yang kita rasakan. Hal ini tak boleh dibiarkan begitu saja, bila yang kita tulis merupakan sesuatu yang negatif. Kita harus segera move on.
Baca juga : Melatih Fokus dengan mindfulness
Minta diangkat dan istigfar
Dalam tulisan tersebut kita lanjutkan dengan permohonan agar rasa tersebut tidak berlangsung lama, segera diangkat oleh Allah Ta’ala sambil ucapkan istigfar. Dalam tulisan kita boleh menuliskan dengan bahasa arab, bahasa latin, atau #istigfar.
Contoh : Ya Allah, aku mohon angkat rasa malu/sedih/takut/marah/ emosi negatif lainnya. Kemudian lanjutkan dengan istigfar sambil mengimajinasikan bahwa emosi negatif tersebut keluar melalui embusan nafas kita. Lakukan sampai merasa lega.
Baca juga : self-healing with quran
Perlu diingat bahwa kita minta emosi ini diangkat bukan dihilangkan, ya. Mengapa? Karena Allah memang menganugerahi kita dengan beragam emosi tersebut di dalam sistem limbik atau otak emosi kita. Jadi ya tak bisa dihilangkan. Itu sebabnya kita bisa memaafkan hal yang menyakitkan tapi tak bisa melupakannya.
Minta Apa yang Diinginkan
Kemarin kita sudah bahas, lanjutkan dengan permintaan kita, apa yang kita harapkan dari hal tersebut. Istigfar ibarat mendelete semua hal-hal negatif yang kita rasakan, maka selanjutnya masukan afirmasi positif. Misal kita kecewa karena dimarahi atasan. Maka keseluruhan pola tulisannya bisa seperti ini;
Ya Allah, aku kesal banget hari ini di kantor dimarahi atasan, mana di depan karyawan lain. Kan aku malu banget. Pengen rasanya nonjok bos tersebut, tapi aku tahu itu kan tidak bagus. Yang ada malah orang-orang menganggapku aneh. (Mengakui)
Ya Allah, tolong angkat rasa kesal ini ya Allah. Aku nggak mau hal kaya gini merusak hidupku. Cukup ya Allah aku ingin move on. #istigfar… (Minta diangkat dan istigfar sampai lega)
Ya Allah sekarang aku memutuskan untuk memilih bahagia, beruntung, sehat, dan bersyukur atas semua karunia Yang Engkau berikan. (Afirmasi positif)
Semakin ke bawah (lihat sesuai kerangka) rasanya akan semakin rileks (Insya Allah). Maka saat rileks tersebut kita masukkan sugesti positif agar kita menarik energi yang sama, energi yang positif, atas izin Allah.
Kalau begitu (flash back ke tulisan saat SD) bisa jadi meski saya sudah melakukan expressive writing sejak dulu namun perasaan tertekan tersebut tak minta diangkat oleh Allah dan tidak dilengkapi dengan afirmasi positif maka terulang lagi ketika jenjang sekolah berikutnya. At least dulu saya merasa itu sudah melegakan.
Mulai sekarang, yuk biaskaan ketika tak sengaja bicara yang negatif atau menulis sesuatu yang negatif segera delete dengan istigfar (bukan sekadar dilisan namun betul-betul meresapi dalam hati) dan tutup dengan afirmasi positif.
By the way, saya juga melakukan teknik ini ke anak saya ketika ia mengalami kesal, atau perasaan tak nyaman lainnya. Karena mengakui perasaan itu penting. Alhamdulillah dengan bicara yang lembut, hati anak yang bergejolak bisa lebih tenang.
Yuk ikhtiar, demi menjaga kesehatan mental agar antusias menjalani hidup sebagai hamba Allah. Menulis untuk kesehatan Jiwa.
Wallahu’alam
12 Comments. Leave new
Afirmasi positif penting banget ya Mbak Dwi.. agar kita selalu berbahagia dengan menulis. Noted, tfs tulisannya yaa
Yup Mba afirmasi positif Membuat kita punya energi untuk melakukan banyak hal bermanfaat.
Waaa menarik bagus ceuu mendalam
Daku langsung penasaran pas baca ringkasannya. Ternyata, bikin daku makin semangat nulis di diary. Cuma memang belum pernah menuliskan secara khusus mengenai doa doa. Dan baru tau kalau kita sebaiknya jangan minta dihilangkan emosi tertentu ya. Astagfirullah…
Nulis di jurnal emang bikin lega ya, udah ngejurnal alias curhat di diari beberapa tahun terkahir ini, nice reminder mba jgn lupa istigfar dan afirmasi positifnya, *lgsg istigfar di diari
betul bisa menangkan jiwa
mbak, aku save tulisan ini ya.. mau kushare ke anakku nih, dia masih suka merasa kurang beruntung. udah disuruh nulis, tapi nggak pakai cara mbak Dwi ini. Bismillah semoga dia bisa lebih percaya diri. thanks sharingnya mbak
Aku kudu belajar ini Mbak. Harus kuakui akhir-akhir ini aku sering ngomong tinggi ke anak-anak. Maksudnya kalau mereka berulah. Padahal bisa jadi mereka caper karena sudah bosan juga di rumah. Mereka ngomong tinggi, saya juga semakin tinggi. Hiks hiks. Bismillah, tak belajar. Dimulai dari menulis tentang perasaan dulu.
Konsep free writing niih penting. Pokoknya tulis aja uneg-uneg yaaa. Ngeblog salah satu terapi jiwa juga nih. Kalau malu dibaca orang, dibuat private aja. Pokoknya uneg-unegnya udah keluar…Trims sharingnya…
Akhir-akhir ini ibu saya juga mengingatkan saya untuk melakukan afirmasi positif. Menurut beliau itu bisa memicu rasa senang dan bahagia.
Sepertinya saya juga harus belajar untuk bisa menuliskan perasaan saya. Selama ini belum pernah mencurahkan rasa secara mendetil, padahal ada manfaatnya juga ya, Mbak
Aku banget nih…merasa menulis bisa menyehatkan jiwa.
Dan free writing baisanya aku pilih. Jadi meski itu tjurhatan, job atau lomba biasanya ditulis aja sesuai yang ada di kepala. Akhirnya, dari sisi SEO enggak pernah ijo kwkwkw
Kalo saya justru yang sedih2 tidak saya tulis, karena akan makin mengendap. Jadi saya keluarkan dgn cerita ke suami atau nangis.