Hidup di zaman milenial ini, memang banyak kita temukan kemudahan. Antara lain untuk meng-koneksikan diri dengan yang kita anggap sepemikiran dan se-frekuensi dengan diri kita. Salah satunya mencari komunitas. Namun sayangnya walaupun kita sudah berusaha mencari yang seidentik mungkin dengan kesukaan kita, tetap saja yang namanya beda kepala ya beda pula isinya.
Tidak sedikit kita jumpai gesekan-gesekan di kala diskusi bersama teman-teman satu komunitas. Namanya komunitas apalagi yang sifatnya online, ya siapapun, dari manapun asalnya, usia berapapun (selama sesuai S&K) tetap saja bisa bergabung. Misalnya saja dalam satu komunitas kepenulisan. Kala kita Ingin nya begini ternyata mereka inginnya begitu, akhirnya majulah sang kapten untuk menengahi.
Apa kapten selalu bisa menengahi? Idealnya begitu. Namun namanya manusia kadang ada rasa jenuh, lelah, bosan, serta kesibukan lainnya yang menguras emosi. Nah, kalau sudah begitu apa yang kita lakukan? Yah idealnya mantapkan hati, miliki rasa saling menghargai, toleransi, dan menyayangi. Atau sederhananya kita sebut saja RESPEK
Apa sih respek? Menurut KBBI, respek adalah rasa hormat; kehormatan.
Kadang kita hanya belum bisa masuk dalam dimensinya untuk melihat apa yang dia lihat. Dan parahnya bahasa tulisan ini berbeda dengan bahasa lisan. Oleh karena itu kadang saya suka menambahkan emoticon sebagai bentuk bahwa saya gak marah lho. Dan kalaupun itu tidak ada bukan berarti saya marah, bisa jadi karena saking banyaknya yang ingin disampaikan, jadi lupa menyisipkan printilan yang memiliki pengaruh besar ini.
Saya suka berpendapat, mengeluarkan uneg-uneg serta pemikiran-pemikiran saya dan ini boleh diterima boleh juga tidak. Dan saya selalu berusaha menghormati keputusan bersama. 🙂
Bagaimana sih bentuk respek dalam suatu diskusi? Seperti yang sudah saya katakan tadi, saling menghargai pendapat, bicara dengan sopan atau bercanda sewajarnya kecuali kalau kita memang sudah saling mengenal dan memaklumi sifat masing-masing. Tidak lupa juga katakan maaf karena siapa tahu sesuatu yang kita anggap bercanda ternyata menyakiti hatinya.
Baca juga : Satu Kata; Sejuta Asa – Forgiveness
Bagi saya pribadi respek dalam suatu diskusi ini bisa dimulai dari hal kecil,
seperti menyapa, menjawab salam, atau sekadar menanyakan kabar dan aktivitas.
Lalu bagaimana dengan yang silent reader, bagaimana bentuk respek terhadap mereka? Saya pun pernah dalam posisi ini dan kadang juga begini untuk diskusi yang saya anggap cukup bermanfaat tapi segan berpendapat (misalnya para pakar sedang berdiskusi), atau juga karena tidak ada aturan yang jelas (baca: rusuh all day long). Namun kalau saat diskusi dan ada yang menjadi SR bagaimana?
Kalau semuanya SR ya gak jadi diskusi, kalau cuma sebagian ya biarkan saja,
mungkin beliau speechless, mungkin juga malu, mungkin juga kurang paham, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya seperti yang saya alami di atas.
Itulah sekilas tentang bentuk respek dalam suatu diskusi. Berbeda pendapat boleh namun tetap miliki rasa saling menghormati, menghargai, dan menyayangi di dalam suatu diskusi kelompok. Bagaimana dengan kamu?
5 Comments. Leave new
Iya bener, rasa bahasa tulisan suka beda sama bahasa lisan. Kadang udah dikasih emoticon rasanya beda.Tapi ada kalanya bagi yang nulis ga kasih emoticon merasa ga marah. Jadi beda persespinya dulu yang harus dipahami, bukan disamakan, ya. Kan kita juga kalau dipaksa harus sama rasanya gaa nyaman. Dinamika bersosial emang gitu, ya.
Betul mba Efi.. Balik lagi ke kitanya ya, energi positif akan menularkan yang positif. Kalau mulai gak kondusif biasanya saya diem dulu aja. qiqiqi.. 😀
rambut boleh sama hitam,tapi isinya kepala pasti berbeda,hihihi…kita berbeda tapi tetap satu tujuan,menulis…menulis…dan menulis. love u mb dwi.
Betul mam Ko.. asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam satu belanga yaitu Kopi Write Indonesia, qiqiqi..
Betul mba, walaupun kadang sikap menghargai kita tidak dibalas dengan meghargai lagi, setidaknya memulai hal baik dari diri sendiri itu hal yang bijak. #tsaaahh..